Semangat besar yang ingin
menjadikan manusia Indonesia seutuhnya menjadi pribadi yang bahagia, baik
secara pribadi maupun dalam anggota masyarakat inilah yang dirangkum dalam tema
besar pendidikan kita saat ini, Merdeka Belajar. Merdeka harus dipahami sebagai
konsep yang membuat kebahagiaan sehingga pemahaman keliru yang memberikan ruang
sebebas-bebasnya bagi setiap orang dalam pembelajaran harus diluruskan. Lalu,
apa hubungan anatara merdeka belajar dengan profil pelajar Pancasila. Profil
pelajar Pancasila yang terdiri atas 6 bagian diharapkan menjadi jalan bagi
pendidikan kita untuk menjadi peserta didik dan manusia seutuhnya. Lantas
bagaimana membumikan profil pelajar Pancasila ini bagi peserta didik kita di
sekolah. Yuk, kita urai dengan sederhana.
Beriman, bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Peserta didik yang mampu menerapkan
nilai-nilai religius dalam keseharian dianggap mampu menerapkan bagian pertama
ini. Selain itu, kemampuan peserta didik untuk menghargai segala ciptaan-Nya, baik
benda mati, terlebih terhadap makhluk hidup merupakan corong tertinggi harapan
pedoman ini. Ya, di sekolah, minimal peserta didik mampu melaksanakan ajaran
agama masing-masing. Berdoa setiap pagi sebelum memulai pembelajaran, menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, menghargai orang lain, melaksanakan hak dan
kewajiban sebagai warga negara, berempati kepada orang lain, mengutamakan
persamaan, dan menghargai perbedaan. Contoh-contoh perilaku seperti ini perlu
terus digalakkan sehingga capaian pedoman pertama ini tidak sekadar teori
belaka.
Mandiri. Mandiri bermakna pelajar
Indonesia merupakan pelajar mandiri, yaitu pelajar yang bertanggung jawab atas
proses dan hasil belajarnya. Elemen kunci dari mandiri terdiri dari kesadaran
akan diri dan situasi yang dihadapi serta regulasi diri. Dalam praktiknya di
ruang-ruang kelas, setiap peserta didik harus paham akan tujuan belajarnya.
Mereka tidak hanya menunggu arahan dan aturan dari pendidik, tetapi mereka
memahami dirinya bahwa tujuan belajar hari ini apa? Tujuan belajar bahasa
Indonesia, Kimia, PAI, dan mapel lain, sebenarnya untuk apa? Selain itu, saat
pengerjaan tugas individu atau proses penilaian misalnya, peserta didik harus
mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri dengan mengerjakan tugas secara
pribadi dan mengerjakan penilaian dengan upaya sadar dari diri sendiri.
Bergotong-royong. Gotong royong
menjadi jati diri bangsa. Jauh sebelum merdeka, sikap ini terpatri dalam
masyarakat pribumi. Jangan sampai nilai-nilai ini tergerus oleh zaman sehingga
predikat kegotongroyongan Indonesia hilang di mata dunia. Negara kita dikenal
sebagai negara yang tingkat sosialnya sangat tinggi. Bahkan berada di urutan
kedua. Oleh karena itu, sikap ini harus terus dipupuk di ruang-ruang kelas.
Peserta didik harus memahami dirinya bahwa dia tidak hidup sendiri, ada begitu
banyak orang lain di sekitarnya yang harus dia terima atas segala perbedaan dan
berupaya membangun kolaborasi.
Berkebinekaan
global. Mengapa global? Saatnya peserta didik kita persiapkan sejak dini
untuk terbuka atas segala budaya dari luar. Akan tetapi, perlu diingat, terbuka
terhadap budaya luar bukan berarti kita mengikuti arus lalu melupakan
kebudayaan di negeri sendiri. Peserta didik pada dimensi ini diharapkan
terlahir sebagai anak Bangka yang berbudaya, memiliki identitas diri yang
matang, mampu menampilkan diri sebagai cerminan budaya luhur bangsanya, mampu
menerima kebhinekaan dalam bangsa seniri, serta terbuka atas nilai-nilai dari
bangsa lain. Dalam praktinya di sekolah, peserta didik harus dibimbing untuk
memahami jati diri, memahami dan menghargai budaya masing-masing, membandingkan
dan mengeksplorasi kebhinekaan, melakukan refleksi terhadap pengalaman
kebhinekaan, menghilangkan prasangka terhadap budaya lain, memahami peran
individu dalam negara, serta turut membangun masyarakat yang adil dan
berkelanjutan.
Bernalar kritis. Pelajar
yang bernalar kritis mampu secara objektif memproses informasi baik kualitatif
maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi,
menganalisis informasi, mengevaluasi dan menyimpulkannya. Elemen-elemen dari
bernalar kritis adalah memperoleh dan memproses informasi dan gagasan,
menganalisis dan mengevaluasi penalaran, merefleksi pemikiran dan proses
berpikir, dan mengambil Keputusan. Bernalar kritis, pada praktiknya harus
menjadi perhatian khusus. Peserta didik saat ini, masih perlu bimbingan dan
upaya serius agar mereka menjadi pribadi yang mampu bernalar kritis. Setahu
saya setelah mengikuti pelatihan penyusunan soal berbasis HOTS, soal yang harus
disusun oleh pendidik tidak memberikan tagihan jawaban hafalan. Jawaban yang
dihasilkan peserta didik adalah hasil proses berpikir kritis. Bahkan, mestinya,
dengan menganalisis stimulus yang dituliskan pada soal, peserta didik mampu
berpikir menemukan jawaban atas pertanyaan walaupun bentuk soal seperti itu
tidak pernah menerka temukan sebelumnya.
Kreatif. Pelajar yang
kreatif mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna,
bermanfaat, dan berdampak. Elemen kunci dari kreatif terdiri dari menghasilkan
gagasan yang orisinal serta menghasilkan karya dan tindakan yang orisinal.
Bagian ini juga menjadi tantangan tersendiri di sekolah. Kreativitas peserta
didik masih begitu terkungkung. Mereka suka mengikuti apa yang telah
dicontohkan. Pun jika berbeda, masih sekadar memodifikasi dari yang ada, bahkan
masih lebih banyak kesamaan dari hasil modifikasi dibandingkan orisinalitas.
Saatnya bagi kita sebagai pendidik mengajak mereka untuk kreatif. Awali dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang memiliki jawaban yang berbeda.
Ajak peserta didik berdiskusi merancang tampilan kelas. Dari
aktivitas-aktivitas sederhana ini, jika kreatif mereka akan tumbuh hingga bisa
dipupuk dalam pembelajaran, sekolah, keluarga, hingga masyarakat.
https://www.kompasiana.com/ammingw/61f7316c87000076a344cf52/yuk-terapkan-profil-pelajar-pancasila-di-sekolah
Kreator: Suparmin